Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sulitnya Pemerintah Pajaki Toko Online

Sulitnya Pemerintah Pajaki Toko OnlineFoto: GettyImages

Yogyakarta - Pemerintah hingga ketika ini masih belum menemukan cara yang ideal untuk memajaki setiap transaksi jual beli online. Padahal, perdagangan online di Indonesia nilainya sudah mencapai ratusan triliunan dalam satu tahun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (BKF), Suahasil Nazara, mengatakan memajaki setiap perdagangan online tidak semudah membalikan telapak tangan.

"Harus mencoba memastikan level of playing field antara yang e-commerce dan konvensional, artinya ketentuan pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, secara setara," kata ia di sela-sela program 2nd Annual Islamic Finance Conference (AIFC) 2017 di Yogyakarta, Kamis (24/8/2017).

Dia menyebutkan, ketika ini pemerintah masih melaksanakan kajian bersama kementerian dan lembaga yang terkait dengan perdagangan online alias e-commerce.

Yang membuat pemerintah kesulitan menentukan denah pajak yang ideal bagi transaksi online ini lantaran bisnis modelnya yang terus berkembang, serta beragamnya e-commerce.

"Nah itu tentu membutuhkan perlu tahu secara detil, hingga memikirkan ke depannya apalagi nih yang berkembang, sehingga kita buat kebijakan yang antisipatif," tambah dia.

Skema pajak ini berlaku bagi seluruh toko online dan media umum yang memiliki acara perdagangan digital, baik yang domestik maupun mancanegara.

"Semua, yang ada acara perdagangan online, ada transaksi," kata dia.

Lanjut Suahasil, salah satu pola yang masih membuat pemerintah melaksanakan kajian adalah, transaksi online yang berasal dari luar negeri ke Indonesia. Seperti pembelian buku, namun yang datang bukan fisik melainkan buku dalam bentuk file.

Jika dalam file, maka denah menentukan pajaknya akan sulit dilakukan. Sebab, bea masuk yang harusnya dikenakan pun menjadi sulit mendeteksi.

"Makanya kita lihat, enggak sesimpel yang kita lihat, kok enggak mampu pajaki, bukan enggak mampu tapi kita lihat model bisnisnya itu tidak simpel, jikalau bukunya masuk, katakanlah mesti bayar bea, mampu enggak ditarik? Bisa ada alamatnya, ada identitasnya, orangnya datang terus mampu dibayar, jikalau dikirim lewat email (soft copy), Bea Cukai mampu stop enggak? Enggak bisakan, nah bagaimana tuh semoga mampu kena," terperinci dia.

Apalagi, para e-commerce yang berasal dari luar negeri menjadi sulit untuk dikenakan pajak lantaran tercatat bukan sebagai wajib pajak Indonesia.

"Kalau Amazon enggak buka di Indonesia, ia bukan wajib pajak Indonesia, lebih rumit dari sekadar bilang Amazon bayar pajak, ia yaitu wajib pajak mana? Karena itu harus dilihat seluruh aturannya, tidak sesimpel orang bilang lho yang di Lazada tidak dipajaki, jikalau sudah antar negara itu menjadi lebih delicate," ungkap dia.

Suahasil mengungkapkan, pemerintah hingga ketika ini telah memiliki beberapa upaya untuk segeral memajaki e-commerce, salah satunya dari setiap transaksinya, jadi bukan melalui fisik barangnya. Namun, untuk merealisasikan hal tersebut harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan kementerian atau lembaga terkait lainnya.

"Caranya yaitu jikalau menurut kita lewat payment-nya, dari transaksinya, sekarang bagaimana? Ini harus ada semacam gateway, bagaimana mengaturnya kita harus ngomong sama BI, ngomong sama OJK, jadi tidak simpelkan," tutup dia.