Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Karena Toko Online, Ini Penyebab Lesunya Industri Ritel

Bukan Karena Toko Online, Ini Penyebab Lesunya Industri RitelFoto: Sylke Febrina Laucereno

Jakarta - Industri ritel modern menyerupai sentra perbelanjaan mulai banyak yang menutup gerainya. Di sisi lain, bisnis belanja online tengah merangkak naik ditandai banyak bermunculannya toko online atau e-commerce di Indonesia.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani, mengatakan pesatnya perkembangan toko online memang menjadi salah satu penyebab industri ritel modern menjadi gulung tikar. Namun itu bukanlah faktor utamanya. Sebab, kata Rosan, tren belanja online masih di bawah angka 1% dibanding belanja ritel modern.

Menurutnya, penyebab utama dari lesunya industri ritel modern disebabkan oleh tingkat keyakinan masyarakat dalam melaksanakan pembelian. Rosan menilai, masyarakat ketika ini masih menahan diri untuk berbelanja, walau pun mereka memiliki dana yang cukup.

"Ada beberapa hal, salah satunya, bukannya orang enggak punya duit, tapi memang orang enggak spending saja. Duit ada, tapi aku lihat karena psikologis, faktor kepercayaan. Karena pertama duit di bank meningkat, dana pihak ketiga semakin meningkat," terangnya.



"Tapi (masyarakat) menahan untuk melaksanakan pembelian dan misalnya dulu pembelian sekaligus banyak, jika dulu untuk sebulan, mungkin sekarang untuk seminggu ada beberapa hari, jadi jika aku melihatnya masalah confident," kata Rosan kepada detikFinance, Jakarta, Senin (18/9/2017).



Dihubungi terpisah, Ketua Umun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyebut permasalahan utama lesunya ritel modern yakni karena masalah tenaga kerja. Dia mengatakan, ketika ini kondisi tenaga kerja formal yang mengalami penyusutan. Sehingga daya beli masyarakat di sektor formal tidak terdistribusi secara merata.

"Ini terjadi penyusutan tenaga kerja formal, ini signifikan. Kaprikornus orang yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan aman kan di pekerja formal, nah selama ini kebijakan kita mengganggu kebijakan formal," kata Hariyadi.

"Sehingga daya beli masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Kalau pekerja formal mereka masih punya uang, mereka enggak ada masalah dengan daya beli, tapi perkaranya jumlahnya semakin kecil, nah pekerja non formal itu yang semakin besar. Sehingga mereka punya daya beli itu menjadi turun," terperinci dia.