Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tutupnya 2 Gerai Matahari dan Lesunya Sektor Ritel, Ada Apa?

Tutupnya 2 Gerai Matahari dan Lesunya Sektor Ritel, Ada Apa?Foto: Sylke Febrina Laucereno

Jakarta - Kabar lesunya sektor ritel di Indonesia ramai dibicarakan semenjak pertengahan tahun ini. Tandanya adalah, kosongnya toko-toko di Glodok yang dulu dikenal sebagai sentra elektronik. Terakhir, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) menutup 2 gerainya di Pasaraya Blok M dan Manggarai.

Ada apa dengan ekonomi Indonesia?

Tahun ini sejumlah gerai ritel banyak yang tutup dan bahkan ada perusahaan yang kolaps ibarat 7-Eleven (Sevel). Banyak yang menyebut, penutupan toko ritel ini sebagai dampak berkembangnya toko online, yang mengubah teladan belanja masyarakat.

"Saya sepakat, belanja online memang berkembang pesat. Tapi salah kaprah jikalau dianggap bahwa anjloknya ritel tahun ini alasannya ialah pesatnya belanja online," ujar Ekonom Dradjad Wibowo, dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/9/2017).

[Gambas:Video 20detik]


Dradjad menjelaskan? Di Amerika Serikat (AS) yang menjadi kiblat belanja online dunia saja, penjualan ritel tetap bagus. Pada 2016 misalnya, belanja e-commerce di AS tumbuh 15,6%, lebih tinggi dari pertumbuhan 2015 yang 14,6%. Pangsa pasar e-commerce terhadap penjualan ritel di luar otomotif dan materi bakar minyak juga meningkat pesat dari 9,5% (2014), 10,5% (2015) dan 11,7% (2016).

Pesatnya belanja online tersebut sama sekali tidak merusak penjualan ritel. Pada 2016 penjualan ritel AS tumbuh 3,3%, angka yang tinggi bagi AS.

Di 2017 ini pertumbuhannya cenderung berkisar 3,5-4,0%. Mengingat sekitar 2/3 dari perekonomian AS tergantung pada belanja konsumsi rumah tangga, kinerja ritel di atas berperan krusial terhadap kuatnya pertumbuhan ekonomi AS.

Di Inggris pun fenomenanya mirip. Meskipun diwarnai kegaduhan referendum Brexit 23 Juni 2016, penjualan ritel Inggris tetap tumbuh tinggi (untuk ukuran Inggris), yaitu 2%, sama dengan 2015. Tahun ini, alasannya ialah ketidakpastian negosiasi Brexit, pertumbuhan tersebut mungkin turun ke 1,6%. Lantas, berapa pertumbuhan penjualan online di Inggris tahun 2016? Hampir 16%!

Indonesia memang mencatat pertumbuhan belanja online tertinggi di dunia, rata-rata sekitar 37% per tahun semenjak 2013. Tapi ini alasannya ialah pangsa belanja online di Indonesia masih sangat kecil. Pada 2016, pangsa tersebut gres sekitar 2,2% dari penjualan ritel.

Fakta-fakta di atas membuktikan, perkembangan pesat belanja online tidak otomatis merusak penjualan ritel. Di AS dan Inggris, penjualan ritel tumbuh kira-kira setara dengan laju pertumbuhan ekonominya.

Data Indonesia memberi gambaran yang mengkhawatirkan. Di 2015, penjualan ritel tumbuh 8%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 4,88%.

Pada 2016, penjualan ritel tumbuh 9%, lagi-lagi jauh di atas pertumbuhan ekonomi yang 5,02%. Semester I-2017 ini, data AC Nielsen menyebut penjualan ritel hanya tumbuh 3,7%. Ini di bawah pertumbuhan ekonomi yang mungkin 5% lebih.

"Jadi, sumber masalahnya bukan pada belanja online, tapi ada faktor lain yang lebih fundamental," kata Dradjad, yang juga Lektor Kepala Perbanas Institute ini.

Dradjad menduga, konsumen kelas menengah atas memang menahan belanjanya tahun ini. Ia sering mendengar wacana hal ini dari konsumen yang juga pelaku usaha menengah atas di Jakarta.

Mereka tidak nyaman dan menunggu, bagaimana pemerintah akan merealisasikan bahaya yang angker mereka terkait amnesti pajak, kartu kredit dan dibukanya rekening bank.

"Ini gres satu dugaan. Mungkin saja ada faktor lain, ibarat pelemahan penjualan di beberapa sektor," tutur Dradjad.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, menuturkan ada 4 hektar yang mengakibatkan tutupnya toko ritel di Jakarta.

Pertama soal daya beli masyarakat. Menurut Sarman ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya bisa tumbuh sekitar 5%.

Kedua ialah soal persaingan antar sentra perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan daerah properti di wilayah baru.

Ketiga, banyaknya barang-barang atau produk abnormal yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.

Keempat, pasar e-commerce. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarman gres sekitar 29% atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut. Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya.