Daya Beli Disebut Isu Politik, Pengusaha: Kenyataan Memang Lemah

Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini mengungkapkan soal daya beli di hadapan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Orang nomor satu itu menyebutkan, daya beli masyarakat Indonesia masih tumbuh. Bahkan beliau menyebut daya beli lesu hanyalah informasi untuk kepentingan politik.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita memastikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia memang lesu.
"Begini yah, pemerintah kan berdasarkan data, data itu misalnya PPN naik itu dianggap berarti penjualan naik, dan pemerintah memiliki data 6 bulan dibandingin tahun lalu ada kenaikan," kata Suryadi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Baik pemerintah dan pengusaha memiliki sudut pandang berbeda. Pemerintah menggunakan komponen PPN. Sedangkan sudut pandang pengusaha, kata Suryadi berbeda, PPN yang dianggap pemerintah naik ialah PPN impor dan kebanyakan sebab banyak wajib pajak yang mengikuti jadwal tax amnesty.
"Kalau pengusaha berbeda, kita lihat penjualan tahun lalu Idulfitri di Juli, tahun inikan Juni, lebaran itu kan peak season yang paling besar, kalau mau data yang benar harusnya itu Januari-Juli, bukan Januari-Juni," tambah dia.
"PPN yang besar itu dari manufaktur ke peritel, itukan naik, yang penting itukan dari peritel ke konsumen dan itu yang kurang, jadi PPN naik terhadap pabrik ke peritel. Peritel ke masyarakat itu berkurang," tegas dia.
Tidak hanya itu, fenomena banyaknya sentra perbelanjaan yang tutup, serta sulitnya pengusaha melaksanakan ekspansi dan justru melaksanakan pemangkasan jumlah karyawan, menjadi salah satu tanda rendahnya daya beli masyarakat.
Dia menjelaskan, jikalau terjadi PHK dan pemangkasan waktu kerja pelengkap atau lembur, maka pendapatan masyarakat terjadi pengurangan.
"Yang terang sekarang banyak toko pada tutup, ini kenyataannya, di Glodok, Mangga Dua, yang besar pun menyerupai Plaza Senayan banyak yang kosong sekarang, jadi kalau dibilang daya beli ada kenapa mereka tutup, kenapa enggak buka lagi, nah alasannya e-commerce," ungkap dia.
Jika memang sebab ada pengubahan contoh belanja dari luring (tradisional) menjadi daring (online), itu pun hanya sebagai faktor kecil. Dia menyebutkan, hanya sekitar 1,2% dari total potensi retail terhadap PDB yang beralih ke online.
"Enggak banyak, jadi e-commerce jadi salah satu faktor tapi itu kecil, yang paling besar itu memang daya beli yang menurun terus yah, pengusaha dan banyak pembeli menengah itu banyak yang wait and see, jadi menurut aku perbedaan data dengan realita, kalau sepi tuh ya sepi," tukas dia.